Jakarta: Komite Seni Rupa dan Jakarta Biennale menggelar diskusi publik Kemanusiaan dan Aktivisme dalam Praktik Seni Rupa Kontemporer pada Selasa, 15 September 2020. Tujuan diskusi ini untuk mengajak publik mengangkat persoalan Hak Asasi Manusia, lingkungan, dan kebebasan ekspresi untuk masa depan.
Sandika Hamid, Communications Manager Amnesty International – Indonesia, memaparkan bagaimana organisasi kemanusiaan Amensty mewadahi musisi dalam menyuarakan kemanusiaan. Divisi Art of Amnesty dibentuk untuk membangun komunitas seniman musisi dari berbagai media untuk membela HAM bersama.
“Seni itu punya kekuatan besar untuk menggerakkan orang, menginspirasi, jadi kita pakai cara-cara yang dekat dengan publik untuk menginspirasi mereka membela HAM,” paparnya dalam diskusi publik virtual.
Ratri Ninditya, Peneliti dari Koalisi Seni Indonesia melakuka riset perihal studi kebebasan berkesenian di Indonesia tahun 2010-2020 didukung UNESCO. Setiap empat tahun sekali, Indonesia berkewajiban melaporkan kondisi kebebasan berekspresi setiap empat tahun sekali.
“Konsep kebebasan berkesenian itu sebetulnya ada di dalam UNESCO 2005 convention on the protection and promotion of the diversity of cultural expressions. Sebagai negara yang meratifikasi konvensi itu, Indonesia sebenarnya sudah wajib untuk memantau dan melaporkan kondisi kebebasan berkesenian di Indonesia setiap empat tahun sekali,” kata Ratri.
“Sayangnya sampai hari ini masih belum ada upaya yang sistematik untuk memantau isu spesifik kebebasan berkesenian,” imbuhnya.
Minimnya upaya sistematik tersebut mengakibatkan jumlah kasus yang terlacak masih sedikit. Oleh sebab itu, konsep ini perlu dipublikasikan kepada masyarakat luas. Menurutnya, perlu ada kerjasama strategis antara pegiat HAM, media, dan komunitas seni untuk merembukkan cara tepat untuk memantau kebebasam berkesenian.
Jakarta Biennale merupakan salah satu program unggulan Dewan Kesenian Jakarta. Jakarta Biennale 2021 mengambil tema ESOK dengan tujuan mengajak perupa dan para pegiat budaya mengangkat persoalan HAM, lingkungan, dan kebebasan berekspresi untuk masa depan lebih baik.
“Jakarta Biennale sebuah platform pergerakan mengajak banyak komunitas, banyak pihak di ekosistem bersama kami untuk kemudian merespons ESOK ini,” kata Farah Wardani, Direktur Eksekutif Jakarta Biennale 2021, Komite Seni Rupa DKJ.
Dolorosa Sinaga, Perupa, aktivis HAM, Direktur Artistik Jakarta Biennale 2021 memaparkan curatorial activism. Menurutnya, Jakarta Biennale menunjukkan bentuk aktivisme dengan melakukan reposisi. Ini dilakukan sebagai kontribusi untuk perubahan sosial Indonesia.
“Dampak dari muncunya gerakan human rights ini tentu bersinergi dengan yang pertama kita bisa lihat bagamaina ekspresi seni kemudian terinspriasi oleh gerakan human rights ini baik film maupun seni rupa,” terangnya.
“Dalam kurasi ini kami akan mencoba memberi ruang pada komunitas karena komunitas-komunitas ini yang sangat dekat melakukan ekspresi-ekspresi mau itu gugatan, kritikan terhadap pemerintah keadaan apapun itu yang saya pikir dia (seniman) perlu diberikan ruang,” ungkapnya.