Jakarta: Band Efek Rumah Kaca berdiri sejak 2001, tetapi baru merilis album pada 2007. Cholil Mahmud sempat mengalami pergolakan batin sebagai musisi pada tahun 90-an.
“Ikut festival itu benar-benar pingin ngetop. Hampir sign major label, frustasi, mulai pasrah lalu tiba-tiba berubah buat apa main musik,” kata Cholil dalam Sambut Iftar Ala Medcom bersama Shindu Alpito, Jumat 8 Mei 2020.
Pandangan Cholil sempat bimbang, lalu mencari arah tujuan dari bermusik. Dia pun berpendapat, musik bisa menjadi bentuk soft-diplomacy untuk peningkatan hal yang lebih baik. Turunan dari bermusik, mereka menyediakan ruang berdiskusi.
“Kita merasa setelah buat lagu kita perlu apa. Ketemu banyak orang, buat ruang namanya Kios Ojo Keos. Di sana kita bisa bertemu banyak orang. Mungkin bisa memberikan, bertukar informasi, dan menjadi sumber inspirasi cerita orang, pengetahuan,” kata Cholil.
Kios Ojo Keos tak jarang menjadi sarana ajang temu seniman dan penggemar dalam bentuk diskusi. Eksistensi Kios Ojo Keos seperti menjembatani kreator dan penikmat karyanya.
“Terbukti, ternyata dibutuhkan ruang. Setelah dibikin banyak orang yang ingin menampilkan karya-karyanya. Jadi, lumayan tepat membuka space baru itu,” ujar Cholil.
Kreativitas Efek Rumah Kaca lahir ketika diasadari tak begitu banyak musik religi bernuansa pop rock, sebelum adanya Ungu dan Gigi. Efek Rumah Kaca dengan perjalanan spiritualitas dan caranya, menyuarakan lagu-lagu kebaikan dari sudut pandang mereka dan banyak diterima pendengar musik.
Cholil Mahmud memaknai lagu reiligi sebagai nilai-nilai baik dari sudut pandang mereka, selain memuat ketuhanan dan alam. Beberapa pendengarnya menangkap nuansa magis ketika mendengarkan lagu Debu-Debu Berterbangan dan Putih.
Efek Rumah Kaca menelurkan album pertamanya pada 2007 dengan judul self-titled. Album Kamar Gelap dirilis pada 2008, dilanjutkan Sinestesia pada 2015. Nuansa berbeda ditampilkan ERK dalam album mini Jalan Enam Tiga yang baru dirilis tahun ini.