Penutupan jaringan bioskop sejak pertengahan Maret hingga setidaknya pertengahan September ini telah mencuatkan beberapa aspek yang perlu dibenahi ke depannya.
Bukan sekadar soal buka atau tutupnya bioskop saat ini, tetapi secara luasnya ekosistem bisnis ekshibisi filmnya.
Saat ini, konsentrasi jaringan bioskop masih terfokus di Pulau Jawa, dan Jabodetabek menjadi regional yang paling banyak mendapat jatah. Di sisi lain, persebaran bioskop di luar Pulau Jawa masih belum sebanding. Hanya Sulawesi Selatan.
“Sebanyak 69% layar itu di Pulau Jawa. Lalu di DKI mencakup 18%-19%. Di daerah ya kemudian sisanya per daerah saja, yang terkonsentrasi hanya di Sulsel. Itu terbesar, tapi tetap tidak bisa mengalahkan konsentrasi layar di Pulau Jawa dan Jakarta karena baru 3%,” ungkap Sekretaris Jenderal Asosiasi Produser Film Indonesia (Aprofi ) Linda Gozali dalam diskusi virtual Komite Film Dewan Kesenian Jakarta bertajuk Pembukaan kembali Bioskop, Telaah Kasus Healthonomic Dunia Hiburan, di Jakarta, Selasa (8/9).
Meski saat ini produksi telah kembali, pembukaan bioskop masih maju-mundur. Sempat beberapa kali mencuat tanggal pembukaan, tetapi kembali urung lantaran melihat situasi yang belum aman dengan peningkatan kasus covid-19 yang masih tinggi.
Dengan adanya situasi ini, Komite Film DKJ Hikmat Darmawan melihat perlu adanya pemodelan ulang bisnis ekshibisi fi lm di Indonesia. Salah satu yang turut menghambat macetnya perputaran ekonomi di industri fi lm saat ini akibat tidak ada ekshibisi juga ialah lantaran konsentrasi layar bioskop yang tinggi di Jakarta. Dengan begitu, revenue terlalu bergantung pada satu regional. “Misalnya di Tiongkok, yang sudah lockdown sejak Januari dan Wuhan menjadi episentrum. Mereka kan negara besar, selama satu atau dua dekade ini investasi di industri filmnya, dengan pembukaan bioskop.
Dalam konteks itu, ketika pembukaan kembali bioskop, memutuskan untuk per kota. Infrastruktur sudah merata. Sementara di sini masih terpusat di Jakarta untuk infrastruktur bioskopnya. Jadi ketika ada krisis seperti saat ini, saat semuanya terpusat di Jakarta, secara infrastruktur jadi terganggu seluruhnya,” tanggap Hikmat. Menurut Hikmat, pandemi memberikan refl eksi terhadap masalah yang sebenarnya terjadi. Karena itu, ia memandang perlu adanya pemodelan ulang bisnis ekshibisi film di Indonesia.
“Pada masa sekarang ada peluang untuk memikirkan dalam meluaskan opsi kita. Penekanannya pada bagaimana pihak pengusaha industri hiburan fi lm punya kepentingan serupa untuk meluaskan opsi, mengingat pandemi banyak aspek rumit di situ. Pihak pengusaha yang berkepentingan untuk re-modelling ini, untuk jangka panjang. Model replikasi bioskop di mal di daerah jangan jadi model satu-satunya. Secara aspek kebudayaan, remodelling juga akan membuka diversity yang lebih jauh,” papar Hikmat.