Story of Kale: When Someone’s in Love, sempalan (spin off) dari film Nanti Kita Cerita Hari Ini (NKCTHI) telah merampungkan produksinya, yang terhitung syuting sejak 3 Agustus lalu. Syuting selesai hanya dalam hitungan hari, hingga 9 Agustus. Bukan saja rumah produksi Visinema.
Film Cinta Pertama, Kedua, & Ketiga arahan Gina S Noer yang diproduksi bersama Starvision juga telah merampungkan syutingnya pada Agustus lalu. Mengenai proses produksi di tengah pandemi ini, kedua sutradara tersebut mengaku telah mengacu pada protokol produksi audiovisual yang disusun Badan Perfilman Indonesia (BPI). Produser Story of Kale Sonny Laksamana bahkan menyebut timnya memperbarui standar pengetesan seluruh pemain dan kru sebelum, saat, dan sesudah syuting berlangsung.
“(Kami) banyak adaptasi. Dalam artian kami justru cenderung meng-upgrade standar yang diterapkan. Seperti dari rapid test, kami lebih percaya dengan metode PCR test untuk seluruh kru dan pemain,” kata Sonny saat dihubungi melalui sambungan telepon, Rabu (2/9). Kesadaran dan kewaspadaan itu juga diterapkan dalam produksi Cinta Pertama, Kedua, & Ketiga. Selain membentuk tim satgas anticovid- 19 internal yang berjumlah lima orang termasuk suster, tim produksi Starvision juga menerapkan tes berlapis.
“Kami membuat dan menerapkan SOP lainnya yang mengatur secara lebih detail seperti logbook harian untuk seluruh tim yang terlibat, pemeriksaan kesehatan berkala, dan menyiapkan tim medis yang standby setiap harinya di lokasi. Kami juga melakukan tes (rapid, swab antigen, dan PCR) secara berkala. Serta ketika sudah melakukan proses pertemuan secara langsung, kami tetap menjalankan logbook harian, yang mencatat kondisi kesehatan setiap hari dan pergerakan teman-teman,” ungkap sutradara Gina S Noer kepada Media Indonesia melalui surat elektronik, Jumat (4/9).
“Kami menerapkan sistem ring, pergerakan orang-orang dalam lokasi juga dibatasi, sesuai area kerja mereka. Kami juga mengaplikasikan area-area khusus untuk ruang tunggu dan basecamp kru dan pemain. Untuk pemain sendiri, kami juga menyediakan ruangan terpisah untuk pemain yang memiliki risiko tinggi,” tambah Gina. Penyesuaian sebenarnya juga bukan hanya dilakukan saat proses produksi. Para kreator juga secara sadar menyesuaikan kreativitas dalam penceritaan. Sonny, misalnya, menuturkan timnya memiliki kesadaran berproduksi di masa pandemi.
Untuk itu, keputusan kreatif seperti penentuan latar cerita dan proporsi aktor dan jumlah kru menjadi pertimbangan. Atau, Gina yang juga memutuskan beberapa latar adegan diambil di dalam studio untuk menghindari keramaian dari pihak di luar tim produksi.
“Makanya kemarin juga saat syuting Story of Kale latarnya di rumah yang memungkinkan kami untuk bisa karantina sendiri. Ada scene mal, kami mencari yang tidak aktif (tidak buka). Atau saat syuting di set bus, kami berusaha mencari sebisa mungkin yang paling aman kami dapatkan,” kata Sonny. Tambah bujet Salah satu impak yang dialami saat produksi di situasi krisis seperti ini, kata Sonny, ialah pada penambahan bujet produksi.
Penerapan protokol untuk menjaga keamanan setiap individu yang terlibat dalam kerja film menjadi salah satu faktor. Namun, itu sebagai kerangka untuk memastikan keamanan dan keselamatan pekerja. “Secara bujet, kasarnya dari produksi dalam situasi normal, sekarang bertambah menjadi 15%-20% karena semua yang terlibat saat produksi tidak kami perkenankan kembali ke rumah. Tapi karantina di hotel. Kami berusaha bermain aman. Dalam artian, mau bagaimana pun kami tidak dilatih sebagai tenaga kesehatan.
Bukan orang yang bisa bertanggung jawab dalam kondisi seperti ini. Jadi lebih baik spend lebih lagi (bujet) demi keamanan semuanya,” papar Sonny. Dia mengungkapkan, seluruh biaya meningkat sampai dengan 25%, karena hari syuting lebih panjang dari saat situasi normal. “Bukan sekadar biaya untuk protokol, praktis kami juga harus menambah hari kerja ketika protokol dijalankan,” lanjutnya. Momentum titik balik Dengan situasi yang lebih mengutamakan keselamatan pekerja, situasi saat ini pun sebenarnya bisa menjadi momentum titik balik bagi industri perfilman dalam memperbaiki skema kerja.
Sebelumnya, amat lazim dan menjadi rahasia umum pekerja film atau secara general pekerja produksi audiovisual di Indonesia sangat memaklumi bekerja melebihi jam kerja normal. Saat ini, situasi itu pun tidak mungkin dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi fisik para kru dan pemain. Momen yang juga baiknya tetap diperhatikan meski misalnya situasi pandemi sudah lebih terkendali.