Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Rommy Fibri Hardiyanto mengatakan film khusus untuk anak-anak atau yang bisa ditonton oleh semua umur masih sedikit.
“Data LSF 2019 menunjukkan film untuk semua umur atau yang bisa ditonton oleh anak masih sedikit, hanya sekitar 10 hingga 14 persen saja,” ujar Rommy dalam seminar bertajuk Upaya Strategi Pemajuan Film Anak Indonesia di Jakarta, Kamis (23/7), dikutip dari Antara.
Rommy menjelaskan insan perfilman lebih senang membuat film untuk kategori remaja dibandingkan untuk anak, karena ada perspektif yang menyebutkan film untuk kategori anak tidak laku di pasaran.
“Secara bisnis, banyak yang tidak mau masuk. Pertimbangannya macam-macam, salah satunya ekonomi,” tuturnya. Dia menambahkan, insan perfilman menganggap bahwa film kategori remaja lebih menguntungkan dibandingkan film anak-anak, karena spektrumnya lebih luas, meskipun jumlah anak-anak lebih banyak.
Selain itu, tidak banyak orang tua, lanjut dia, yang mau menemani anaknya menonton film untuk kategori anak-anak. Ketua Komisi III LSF, Dr Naswardi mengatakan jumlah film anak mengalami stagnasi dibandingkan film bergenre lain dengan muatan konten dewasa.
“Film anak-anak tidak mengalami pertumbuhan, hanya dua persen saja dari 2017 hingga 2018. Beda misalnya dengan film horor, yang satu dari empat judul film yang tayang di bioskop adalah genre horor dengan sisipan komedi, serta konten sensual,” ucapnya.
Hal itu berbanding terbalik dengan kelompok penonton di usia anak dan remaja, 10-19 tahun yang cukup besar, yakni 33 persen. Padahal, justru anak-anak yang sering menonton televisi atau film cenderung meniru apa yang ditampilkan pada tayangan. “Hal ini bisa menjadi masalah bila tayangan yang ditonton anak-anak tidak sesuai dengan usia anak,” kata Naswardi.
Ke depan, LSF mendorong agar film maupun konten untuk anak lebih banyak, sehingga anak memiliki pilihan dalam menonton tayangan. Di sisi lain, LSF mendorong budaya sensor mandiri dapat mengakar di masyarakat.. Hal itu agar masyarakat dapat memilah tontonan sesuai dengan klasifikasi usianya.
Contoh budaya sensor mandiri, yakni jika anak berusia 13 tahun maka anak tersebut tidak akan mengakses tontonan untuk usia di atas 13 tahun. LSF akan bekerja sama dengan banyak pihak untuk menyosialisasikan gerakan sensor mandiri tersebut. Melalui gerakan tersebut, masyarakat memiliki literasi terhadap tayangan.