Jakarta: Lily Yulianti Farid, penggagas Makassar International Writers Festival (MIWF) menyoroti adanya keterbatasan akses membaca di Indonesia. Hal ini menjadi faktor utama yang membuat MIWF tetap bertahan.
Singkat cerita, ide menggagas MIWF dilakukan Lily bersama Riri Riza sejak 2011. Kemudian festival pertama MIWF berhasil digelar pada 2012. Dalam satu aktivitas, MIWF membuat kelompok pembacaan di antara para penulis yang diundang untuk memastikan apakah bacaan mereka seragam.
“Dan di lima tahun pertama festival yang selalu muncul setiap forum, dialog bahkan workshop itu adalah soal akses keterbatasan,” terang Lily Yulianti Farid dalam diskusi publik Festival dan Kegairahan Sastra, Selasa 22 September 2020.
Keterbatasan ini kemudian memunculkan pertanyaan apakah buku atau bacaan tersebut dapat diakses. Bukan lagi perihal mengikuti tren buku terbaru atau rekomendasi. Dari sini, MIWF mengusahakan terciptanya perpustakaan.
“Kemudian kita selama empat tahun berturut-turut bahkan ikut melakukan kegiatan yang sangat akar rumput yaitu mengusahakan perpustakaan komunitas,” kata Lily.
Jika dalam MIWF banyak digelar diskusi dengan isu-isu besar seperti HAM, kesetaraan, dan demokrasi, di luar festival mereka mengupayakan akses membaca berupa komunitas baca.
“Mencoba menggagas dan menjalin kerja sama bagaimana mendapatkan buku untuk perputakan di desa mereka masing-masing,” terang Lily.
Sejak awal, MIWF bekerja mandiri tanpa didanai pemerintah daerah. Dikatakan Lily, sempat mencoba melakukan pendekatan dengan pemerintah daerah setempat, tetapi tidak ditemukan kesepahaman perihal MIWF.
Berawal dari keinginan Lily agar warisan budaya Bugis La Galigo dapat diketahui masyarakat Makassar. Dia mencoba mengajukan proposal untuk mengawali MIWF ke pemerintah daerah. Namun, ide itu dianggap pemerintah sebagai bagian dari rencana pariwisata, bukan festival yang mewadahi penulis dan orang-orang di bidang kepenulisan.
“Dari kantor pariwisata kami disuruh pergi ke kantor bahasa, ‘kamu mau melestarikan bahasa dan La Galigo kamu ke bahasa aja’. Dan setelah itu kami enggak merasa nyaman dengan model kerja pemerintah kota yang sangat tidak transparan karena ketika festival ini kami dirikan kami memang melakukan pengenalan tentang values atau nilai dan prinsip-prinsip menjalankan festival,” terang Lily.