Kaum musafir atau orang yang sedang melakukan perjalanan jauh menjadi salah satu yang mendapat keringanan untuk tidak menjalankan puasa Ramadan. Mengapa demikian dan bagaimana hukumnya?
Mereka yang diberi keringanan untuk tidak berpuasa adalah ibu hamil dan menyusui, orang sakit, orang tua yang sudah tidak mampu puasa dan juga kaum musafir.
Ketua Tanfidziyah PBNU, Gus Ahmad Fahrurrozi mengatakan musafir boleh tidak berpuasa jika sudah menempuh jarak yang telah diperbolehkan untuk meng-qashar salat atau meringkas jumlah rakaat salat.
Artinya perjalanan yang dilakukan orang tersebut sudah cukup jauh dan jika dihitung mencapai 16 farsakh atau sekitar 90 kilometer.
\”Itu jarak yang biasanya membuat para musafir mengalami kelelahan dan kepayahan,\” kata Fahrurrozi saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (12/4).
Meski demikian, sebenarnya para musafir ini tetap diwajibkan puasa, tetapi dia diizinkan membatalkan puasa jika dirasa perjalanannya terlalu berbahaya kalau ditempuh sambil berpuasa.
Namun karena sifatnya masih wajib, maka musafir tetap harus membayar utang atau meng-qadha puasa di kemudian hari.
\”Hukum puasanya tetap wajib, tapi ada keringanan untuk tidak puasa bagi musafir dan yang tidak mampu berpuasa,\” tambah Fahrurrozi.
Lebih lanjut, dia mengungkapkan bahwa para musafir diberi pilihan untuk menentukan apa yang sekiranya baik dan lebih mudah untuk mereka.
Jika berpuasa dirasa lebih baik, maka dianjurkan untuk tetap. Namun kalau lebih mudah saat berbuka atau tidak puasa, maka diperbolehkan.
\”Namun jika keduanya sama saja, maka berpuasa lebih baik. Ini adalah perbuatan Nabi shallallahu \’alaihi wa sallam, sehingga bisa lebih cepat membebaskan diri dari beban syariat. Ini [tetap berpuasa] juga bisa lebih ringan bagi manusia karena qadha puasa bisa jadi terasa berat,\” tuturnya.
Dilansir dari: cnnindonesia.com