Eagle Institute Indonesia (EII) kembali menyelenggarakan Eagle Awards Documentary Competition (EADC). Kompetisi ini ditujukan bagi setiap kaum muda yang memiliki semangat kreatif dan inovatif di seluruh Indonesia.
Bekerja sama dengan Kementerian Kominfo dan Gerakan Nasional Literasi Digital Siberkreasi mengusung tema besar Indonesia Bersinar Makin Cakap Digitall dengan memfokuskan meningkatnya literasi digital dan kecakapan digital masyarakat Indonesia.
Eagle Institute Indonesia tahun ini menerima lebih dari 150 proposal ide film dari seluruh Indonesia. Mereka melalui tahapan seleksi dari para juri independen yang terdiri dari para praktisi film, akademisi dan pegiat literasi digital.
Setelah melalui proses yang panjang sejak bulan September 2022 mulai dari penyaringan peserta melalui juri baca hingga juri wawancara, terpilihlah lima ide cerita terbaik yang mendapatkan fasilitas berupa workshop pembuatan film dan pembiayaan produksi film dokumenter.
Adapun kelima film tersebut adalah:
1. Halima Dan Perahu Bekas
Sutradara : Rivon Paino dan Findriani Mahmud dari Puhuwato Gorontalo
Sinopsis:
Halima adalah seorang nelayan perempuan penangkap gurita yang tinggal di perkampungan atas laut Torosiaje, Gorontalo. Janda satu anak ini mencari gurita di sekitar perkampungan dengan menggunakan perahu bekas untuk menghidupi dirinya dan kedua orangtuanya yang terbaring sakit. Pahitnya kehidupan banyak Halima lalui dengan trauma ditinggalkan suami telah menjadi sebuah masa lalu bagi Halima.
Di Bajo, nelayan merupakan pekerjaan yang umum dilakukan laki-laki. Halima kemudian bergabung dengan kelompok nelayan gurita. Di sana, ia berkenalan dengan Indri dan kawan-kawannya yang melakukan pendataan dengan menggunakan aplikasi terhadap tangkapan nelayan.
2. Lima Pare
Sutradara : Fahmi Abdul Aziz dan Ilham Aulia dari Banten
Sinopsis:
Film ini mengangkat soal bagaimana sistem pertahanan serta kedaulatan pangan pada masyarakat Baduy di tengah perkembangan dunia digital yang semakin maju. Masih banyak sisi lain pada sistem ketahanan pangan di Baduy yang belum banyak dibicarakan, salah satunya adalah soal proses ngaseuk.
3. Sang unggawa Laut Sumbawa
Sutradara : Harsa Perdana dan Muhammad Farhan dari Sumbawa NTB
Sinopsis :
Jabaruddin (40) atau kerap di sapa Haren adalah seorang kapten bagang yang telah melaut sejak berumur 15 tahun. Bagi Haren, Laut Sangoro adalah sumber penghidupan utama tidak hanya bagi keluarganya tetapi juga keluarga nelayan lainnya.
Sedikitnya tangkapan ikan memberi pengaruh pada perekonomian para nelayan, sehingga tak jarang para istri-istri nelayan ini harus bekerja ekstra bahkan menjadi tenaga kerja Wanita (TKW) di luar negeri untuk mencukupi kehidupan keluarga. Seperti halnya Suharni, istri Haren yang memutuskan untuk menjadi TKW dan terpaksa berpisah dengan Haren serta ketiga anaknya selama bertahun-tahun.
Perkembangan teknologi informasi yang semakin massif, juga dimanfaatkan oleh Haren. Dengan adanya koneksi internet yang dapat diakses hingga tengah laut, memudahkannya untuk memetakan potensi ikan serta memasarkannya. Kemudahan akses ini juga membuat komunikasi antara Haren dengan istrinya menjadi lebih baik, Haren selalu mencoba untuk meyakinkan sang istri agar Kembali ke Indonesia.
4. The Flinstones Digital Rimba Bulungan
Sutradara : Anggrino Gilang Verlando dan Rohil Findiawan Mokmin dari Bulungan Kalimantan Utara
Sinopsis:
Sandi (25) seorang pemuda sekaligus ketua RT dari suku nomaden di pedalaman kalimantan memutuskan untuk memiliki hunian tetap dan beradaptasi dengan teknologi meski keterbatasan akses jaringan di hutan. Dengan kondisi hutan yang semakin mengecil dan hasil buruan sudah mulai sulit Sandi berupaya agar masyarakat yang masih tinggal di dalam hutan mendapatkan akses Kesehatan dan Pendidikan. Keinginannya ini berawal saat Sandi kehilangan 2 anaknya,].
Namun tidak semua masyarakat punan batu di hutan sajau berau merespon baik atas niatnya. Hingga akhirnya, Sandi sempat ingin memutuskan berhenti sebagai ketua RT. Sandi sebagai pemuda suku punan batu yang telah berdamai dengan keadaan purba dan modern bercita-cita agar anaknya dapat bersekolah di kota, tapi keluarganya menolak karena alasan jarak. Sandi yang khawatir akan masa depan Punan Batu hanya bisa berharap warganya yang masih tinggal di hutan Sajau Berau mendapatkan perhatian dengan tidak mengganggu kehidupan mereka di dalam hutan.
5. Tanpa Terkecuali
Sutradara : Raka Mahandika dan M.Tritaufan Saputra dari Tangerang Selatan Banten
Sinopsis :
Menceritakan seorang tuna netra bernama Fakhry Muhammad Rosa (28) seorang content creator Youtube yang berfokus pada Teknologi dengan membuat konten review aplikasi ramah disabilitas tuna netra, review gadget dll. Kecintaannya terhadap dunia teknologi membuat fakhry kerap mengisi acara pelatihan yang rutin diselenggarakan Paradifa, Bakti Kominfo sejak 2017 dan beberapa event lainnya sampai saat ini.
Dalam kelas pelatihan Microsoft office inilah Fakhry bertemu seorang perempuan yang menjadi pujaan hatinya. Dan di sisi lain Fakhry juga menghabiskan waktunya dengan bermain music dengan teman-teman, bahkan mereka sudah beberapa menciptakan lagu mereka sendiri yang juga sering dibawakan pada pertunjukan-pertunjukan music yang mengundang grup band Fakhry dan teman-temannya.
Keterbatasan tidak membuat Fakhry dan teman-temannya putus asa dan menyerah. Mereka sering mengisi acara untuk menghibur orang banyak sebagai kontribusi mereka memberi manfaat (hiburan) dan bukan hanya penerima manfaat.
Dalam Awarding kali ini akan diumumkan juga tiga film terbaik pilihan juri yang terdiri dari Mun Jeong Hyun (Master Of Documentary dari Korea Selatan ), Inayah Wahid ( Artis Indonesia) dan Usman Kansong (Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kemenkominfo) Tiga Film pemenang tersebut akan mendapatkan Piala Eagle Awards, uang tunai Puluhan juta rupiah dan Smartphone.
Kelima film terpilih tersebut juga ditayangkan di Metro TV mulai tanggal 28 dan 30 November 2022 pukul 09:30 – 10:00 WIB dan tanggal 1-2 Desember 2022 pukul 09:30 – 10:00 WIB dan 3 Desember 2022 pukul 09:05 – 09:30 WIB.