Sudah lebih dari satu dekade terakhir industri musik dipaksa beradaptasi dengan berbagai model bisnis baru yang tak pernah ada sebelumnya. Terpaan dunia digital bagi industri musik datang lebih pagi dibanding beberapa industri lain. Sayangnya, model bisnis era digital selalu berubah mencari format dan bentuk terbaiknya.
Beberapa waktu lalu, Medcom.id mewawancarai Triari Senawirawan atau biasa dipanggil Ari, Managing Director Warner Music Indonesia. Dalam wawancara itu, Ari mengatakan bahwa pergeseran bisnis model musik hari ini sangat berbeda dibandingkan era awal invasi digital.
\”Industri musik itu satu dari sedikit yang sudah bertransformasi ke digital, bayangkan 10 tahun lalu industri musik masih mengandalkan revenue dari CD atau penjualan fisik. Sekarang revenue dari fisik sudah hampir nol. Bayangkan dari bisnis retail, sekarang transformasi ke digital. Dari situ, behaviour dari konsumen berubah. Revenue kita berubah dari penjualan CD ke digital streaming. Revenue utama label saat ini dari digital streaming,\” kata Ari.
Lebih jauh, Ari menjelaskan bahwa saat ini pihaknya sebagai label melihat segala kemungkinkan monetisasi. Mengeruk sebanyak-banyaknya rupiah dari berbagai kemungkinan mengolah karya musik, dan intellectual property milik labelnya adalah cara bertahan yang paling mungkin.
Model bisnis musik pada era digital tak semudah kedengarannya. Banyak aspek-aspek yang mengikat di dalamnya, yang tak bisa serta-merta diabaikan begitu saja. Keluwesan artis dalam berkomuniasi dengan penggemarnya melalui platform media sosial misal. Itu adalah tantangan tersendiri yang mungkin tak ditemui saat era analog.
\”Bedanya dengan era hari ini, akses musik ke consumer hari ini lebih lebar. Kesempatannya banyak, kita tidak hanya tidak melihat revenue hanya satu sumber. Cabang dari musik banyak, visualisasi musik, podcast akan jadi revenue stream baru, digital gaming, mobile gaming, belum lagi soal Web 3.0, metaverse, konser metaverse. Kami harus jeli soal revenue digital yang baru.\”
\”Dengan maraknya sosial media, siapapun bisa mendapatkan audiens sendiri. Banyak artis yang baru kita sign kenanyakam Gen Z. Kami tidak hanya menilai musik, tetapi juga karakteristik yang unik dan punya daya tarik untuk fanbase-nya tersendiri. Kalau zaman dulu kirim demo, sekarang kami analytics, artis itu harus punya engagement. Bukan hanya potensi musik, tetapi work ethic, engagement dia seperti apa, pembawaan dia di sosial media seperti apa. Supaya ke depan tujuannya menawarkan suatu value, bagaimana mereka mengembangkan bakat mereka bukan hanya bakat musiknya, tetapi juga di luar musik. Bagaimana kita bawa ke brand, atau di pasar global, kolaborasi dengan artis kami dari negara lain. Kami ngerasa sekarang yang kita kembangkan di situ.\”
Kemudian Ari memberi contoh bagaimana labelnya mengembangkan grup Putih Abu-abu. Berbagai strategi dan upaya dilakukan, mulai dengan mengkolaborasikan artis baru dengan artis senior, sampai membentuk metahuman sebagai upaya untuk lebih relevan pada generasi yang akrab dengan dunia virtual. Upaya pendistribusian pun fokus pada kanal-kanal media sosial, alih-alih bertopang pada media konvensional seperti radio dan televisi.
\”Kalau dulu memperkenalkan lagu lewat radio, televisi, sekarang channel-nya banyak. Lewat TikTok, YouTube, ada banyak. Putih Abu-Abu, mereka besar di YouTube, mereka kemarin kami buatkan album dengan Melly Goeslaw, mereka juga mau kita buatkan konser metaverse dan kami buat metahuman. Kami mencari artis yang mau tumbuh lebih dari sekadar musik.\”
Hal di atas membuat Barry Maheswara, direktur Arts & Repertoire Warner Music Indonesia, atau divisi yang biasa mencari talenta baru bekerja lebih ekstra. Patokan mereka bukan lagi kemampuan bermusik, tetapi variabel yang lebih kompleks
Barry menceritakan bahwa dirinya sempat berdiskusi dengan Steve Lillywhite, produser U2 yang kini menetap di Indonesia. Dia sepakat dengan pernyataan Steve bahwa dalam industri musik, musik sendiri harus diutamakan dari bisnis.
\”Always remember arts comes first become bisnis. Pada akhirnya yang dijual adalah lagu dan musik. Kalau mikir bisnis aspeknya dulu, semua decision creative lo akan di-drive sama bisnisnya. Bagaimana caranya decision bisnisnya di-drive sama art-nya.\”
Perbedaan pandangan antara lini bisnis dan kreatif selalu menarik, dari situ biasanya lahir terobosan-terobosan baru dan segar. Salah satu yang penting menurut Barry untuk menyikapi situasi ini adalah menumbuhkan mindset branding pada tiap talenta yang berada di bawah asuhannya. Dengan mindset branding, otomatis para musisi akan memikirkan bagaimana mereka mengemas karya, hingga bentuk komunikasi pada penggemar di era media sosial. Dari situ, label secara linier turut mengembangkan hingga menghasilkan potensi bisnis yang lebih besar.
\”Buat gue intinya komunikasi. Karena, menurut gue enggak semua orang bisa jadi konten kreator. Yang selalu gue tanamkan ke artis-artis gue, sekalinya lo jadi profesional musisi, musik bukan lagi hobi. Ada tanggungjawab pekerjaan di situ. Nah, menjadi musisi pada hari ini dengan 10 tahun lalu itu enggak sama. Pada hari ini menjadi musisi punya tuntutan enggak cuma bernyanyi. Lo harus berpikir diri lo adalah bisnis lo sendiri. Jadi dengan menumbuhkan entrepreneur mindset akan jadi tumbuh pemikiran untuk menjadi lebih maju,\” kata Barry.
Kendati demikian, penting bagi dirinya untuk musisi tak memaksakan diri menjadi apa-apa yang bukan dirinya, dan di luar karakternya.
\”Kita enggak pernah memaksa artis membuat konten yang bukan jati dirinya mereka,\” kata Barry memperjelas bahwa beradaptasi pada era digital tidak sama dengan melepaskan identitas dan karakter diri.
Fatamorgana Web 3.0
Satu tahun terakhir, kita akrab dengan istilah konser virtual dan konser di metaverse. Lebih dalam dari itu, karya musik banyak dijual dalam konsep NFT (non-fungible token). Namun, apakah pola konsumsi baru musik berlandaskan Web 3.0 sudah benar-benar efektif?
Nyatanya, sampai hari ini masyarakat masih cenderung menikmati musik dengan pola digital konvensional. Musik didengar melalui YouTube, digital streaming platform, dan lewat pertunjukkan musik langsung baik festival atau konser.
Ari menilai bahwa industri musik dalam Web 3.0 masih terus mencari formulanya. Apa yang sekarang dijalani adalah bentuk dari sebuah eksperimen dan upaya beradaptasi pada ekosistem digital yang lebih lanjut.
\”Semua industri melihat Web 3.0 sebagai eksperimental. Kami juga melihat Web 3.0 sebagai eksperimental,\” kata Ari.
Menurut Ari, langkah penting dan utama adalah mengedukasi para talenta untuk lebih siap secara mindset dan behaviour untuk dapat mengikuti ekosistem digital yang terus berubah. Atau, di sisi lain dari pihak label menyiapkan talenta-talenta baru yang merupakan digital native, agar bisa relevan dengan pasar yang ada.
\”Kita pun enggak bilang semua yang kami bikin pasti sukses. Kalau kita mau melakukan ini ke artis kita, yang penting edukasi dulu. Step nya pelan-pelan. Buat kami, enggak bisa langsung. Bahkan, artis yang sudah besar pun konser metaverse juga belum tentu sukses. Harus hati-hati. Tidak semua artis bisa melakukan ini. Gen-Z lebih adaptif dibanding yang lebih senior. Tujuan utama bukan untuk melakukan servis pada fans lama, tetapi untuk menambah penggemar baru dari generasi yang sekarang SMP atau SMA. Anak-anak yang misal nongkrongnya di Discord,\” tutup Ari.
Dilansir dari : medcom.id