Ubud (SAI 100FM)–Karya seni itu memang terkadang tak ternilai. Seperti Gamelan yang menjadi instrumen tradisional di berbagai daerah di Indonesia, merupakan karya seni bernilai.
Saat ini, tak banyak yang dapat membuat gamelan dengan pakem-pakem tradisi yang sesuai. Satu dari sedikit pembuat gamelan atau pande yang masih eksis adalah I Gede Swandiyasa, yang memiliki tempat pembuatan bernama Gong Tari, di Klungkung, Bali.
I Gede Swandiyasa (74) tahun dan telah membuat gamelan dari usia 15 tahun. Dia berasal dari keturunan pande yang sudah ratusan tahun membuatnya. Alat musik ini terbilang instrumen yang tidak murah, satu set gamelan dijual seharga Rp400 juta. Proses pembuatannya panjang, tiap-tiap instrumen harus melewati proses peleburan dan pembakaran untuk mendapatkan bentuk dan bunyi yang sempurna.
“Harga satu set bisa empat ratus juta, pembuatan selama empat bulan,” ujar I Gede.
Satu set terdiri dari belasan instrumen, antara lain terompong, reong, ceng-ceng, kendang, gangsa, jublag, jegog, kantilan, kempli, kenyur.
Harga itu sebanding dengan kualitas material yang digunakan, yaitu perunggu, timah, dan tembaga. Seorang pande harus benar-benar mengerti campuran logam-logam itu agar suara yang dihasilkan sesuai titi laras pakem gamelan, dan ketahanan instrumen yang bisa dibilang seumur hidup.
Di tengah modernitas zaman dan perkembangan instrumen musik yang pesat, pesanan yang diterima I Gede Swandiyasa tak surut. Bahkan, pesanan-pesanan juga datang dari luar Indonesia. Dia pernah mendapat pesanan dari Tiongkok hingga Amerika Serikat.
Menariknya, I Gede Swandiyasa masih mempertahankan sistem pelarasan nada atau tuning secara tradisional menggunakan bambu. Bambu yang telah dipotong sedemikian rupa menjadi patokan nada untuk menyetel bunyinya. Secara pakem, gamelan bali memiliki tiga sistem penyelarasan nada, yaitu diatonis, pelog, dan slendro.