Jakarta: Dunia film dan jurnalisme begitu dekat. Ada banyak film-film Hollywood yang dibuat atau terinspirasi dari karya jurnalistik. Begitu juga di Indonesia juga meski jumlahnya belum banyak.
\”Film dan jurnalisme punya sesuatu yang banyak tumpang tindih, dalam arti bagus. Hasil kerja jurnalistik bisa menjadi inspirasi,\” kata Tito Imanda dari Asosiasi Pengkaji Film Indonesia (Kafein) dalam webinar \”Karya Jurnalistik yang Menginspirasi Filmmaker\” yang digelar oleh Perum Produksi Film Negara (PFN).
Di luar negeri, kata Tito, film-film yang diangkat dari sejumlah karya jurnalistik selalu menarik. Selain berdasarkan kisah nyata, film yang terinspirasi dari karya seorang jurnalis biasanya peristiwanya punya daya tarik tersendiri.
Ada juga film yang membahas kisah di balik sebuah berita yang menggemparkan. Sebut saja seperti The Post yang mengangkat polemik di balik meja redaksi Washington Post dan All The President\’s Men tentang dua reporter Washington Post yang menyelidiki skandal Watergate.
Sementara untuk di Indonesia, Tito mencontohkan film Remang-Remang Jakarta karya sutradara Lukmantoro DS dan Jakarta Undercover yang diangkat dari penelusuran Moamar Emka ke dunia esek-esek Tanah Air.
\”Film lainnya yang mengangkat kisah nyata dari liputan wartawan masih banyak fokus kepada investigasi kehidupan esek-esek ibu kota,\” ucap Tito.
Tito lalu mencontohkan kasus-kasus korupsi besar di Indonesia. Lika-liku investigasi wartawan membongkar kasus korupsi hingga ancaman terhadap mereka sebenarnya cukup menarik untuk diangkat ke sebuah film.
\”Banyak cerita dari liputan. Ada wartawan yang diancam karena angkat kasus korupsi, hidupnya sudah kaya di film suspense. Tapi film tapi suspense kan memang belum banyak dibuat di Indonesia,\” ucap Tito.
Banyak faktor yang menyebabkan film-film yang diangkat dari karya jurnalistik belum banyak di Indonesia. Salah satunya topik yang diangkat bisa jadi terlalu berat sehingga tidak menguntungkan secara bisnis.
\”Banyak yang bisa diangkat dari karya jurnalistik. Banyak sisi dramatis dalam hidup jurnalis. Problemnya bisa jadi, tidak ada karya yang bisa diangkat. Kedua, tidak ada informasi tentang karya wartawan yang bisa diangkat. Ketiga, bisa jadi tidak tertarik. Karena meski ada karya jurnalis yang bisa jadi inspirasi pasti sudah dibuat,\” kata Ketua Forum Pewarta Film, Teguh Imam Suryadi.
Tito mengamini pernyataan Imam. Menurut Tito, pasar film di Indonesia belum begitu besar. Jumlah bioskop Indonesia yang masih kalah jauh dibandingkan industri film Hollywood misalnya membuat seorang produser harus selektif mengangkat cerita yang akan difilmkan. Sisi bisnis tentu harus menjadi pertimbangan.
\”Sulit membandingkan film Indonesia dengan Hollywood. Mereka punya pasar seluruh dunia. Produser juga pilih-pilih mau angkat karya jurnalistik yang mana. Akhirnya investor pilih cerita yang ringan, yang dekat dengan anak-anak muda. Saya tidak menyalahkan orang yang tidak mau menaruh biaya untuk film-film seperti itu (bertema berat). Wajar mereka (produser dan investor) takut (rugi),\” jelas Tito.
Kaitan dunia film dan jurnalisme semakin erat ketika banyak juga profesi wartawan yang diangkat menjadi karakter sebuah film. Banyak film fiksi yang menceritakan profesi jurnalis. Dalam penelusuran Tito di situs filmindonesia.or.id, ada 55 film menggunakan kata \”wartawan\” dan tiga film menggunakan kata \”jurnalis\”.
Tito menyebut, profesi jurnalis juga begitu dekat dengan dunia film. Banyak juga sineas yang pernah menjadi jurnalis sebelum terjun ke dunia film. Contoh paling populer saat ini tentu sutradara Joko Anwar. Usmar Ismail yang merupakan Bapak Perfilman Indonesia disebut Tito pernah bekerja sebagai wartawan.
Selain bertugas memberitakan sebuah berita tentang sebuah film, seorang jurnalis juga bisa berperan langsung menghadirkan sebuah karya di dunia film. Sebagai profesi yang dekat dengan kepenulisan, seorang jurnalis bisa menempuh langkah sebagai penulis naskah. Langkah ini pernah dilakukan Joko Anwar ketika mengawali karier dengan menulis naskah film Arisan.
Karena itu, Tito mengusulkan jurnalis bisa mengikuti pelatihan menulis naskah film. Menulis berita dengan cara menulis skenario tentu berbeda sehingga harus secara rutin dilatih.
\”Kita saat ini kekurangan penulis film. Yang berpotensi salah satunya wartawan. Wartawan bisa belajar menulis skenario film, bukan hanya formatnya, tapi juga bagaimana art-nya, kapan ketegangan meningkat, konflik mulai muncul sampai selesai. Saya sangat menyemangati ketika ada pelatihan menulis, wartawan yang berminat bisa jadi prioritas karena punya model besar untuk jadi penulis naskah yang hebat,\” jelas Tito.
Dilansir dari: medcom.id