Bandar Lampung (SAI100FM)–Bocornya data pribadi milik Presiden ke-7 RI Joko Widodo beberapa waktu lalu sempat menghebohkan banyak pihak. Pasalnya, orang nomor satu di tanah air yang notabene memiliki perlindungan maksimal masih dapat mengalami kebocoran data.
Kasus ini menunjukkan betapa lemahnya perlindungan data pribadi di Indonesia. Bukan hanya Presiden Jokowi, kedua putranya Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep juga turut jadi korban. Bahkan, data pribadi beberapa anak buah presiden yakni Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan ikut dibobol.
Kasus yang dialami Joko Widodo beserta keluarga dan beberapa menterinya hanya merupakan sebagian kecil saja. Parahnya, ada jutaan masyarakat Indonesia yang menjadi korban akibat buruknya perlindungan data pribadi di Indonesia.
Melansir Tempo.co, sebanyak 6 juta data nomor pokok wajib pajak atau NPWP milih masyarakat di dalam negeri diduga diperjualbelikan dengan harga sekitar Rp150 juta.
Berdasarkan unggahan akun Bjorka pada Rabu, 18 September 2024, data pribadi yang bocor antara lain nomor induk kependudukan (NIK), NPWP, alamat, nomor kontak telepon seluler, dan surat elektronik atau email.
Kasus tersebut membuat seluruh masyarakat semakin takut. Bagaimana tidak, kebocoran data pribadi dapat tersebar luas dan berpotensi disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Dampaknya, dapat merugikan si pemilik data pribadi baik moril, materil hingga sanksi hukum.
Efek dari kebocoran data pribadi membuat ketakutan masyarakat semakin meningkat. Apalagi, di era digital seperti saat ini, masyarakat harus memberikan data pribadi untuk memenuhi persyaratan tertentu. Khususnya, saat mengakses layanan industri jasa keuangan.
Ada banyak jenis industri jasa keuangan yang berhubungan langsung dengan masyarakat Indonesia. Di antaranya, perbankan, asuransi, pembiayaan multiguna, perusahaan efek, dana pensiun, pegadaian, perusahaan leasing, modal ventura, reksa dana dan lainnya. Semua proses pengumpulan dan penyimpanan data pribadi berbasis digital. Ironisnya, industri jasa keuangan masih sangat lemah untuk melindungi data pribadi nasabahnya dari ancaman siber seperti peretasan.
Di tengah digitalisasi yang pesat, perlindungan data pribadi menjadi isu semakin krusial. Kebocoran data, penyalahgunaan informasi, dan risiko peretasan data pribadi merupakan ancaman yang sering menjadi perhatian konsumen.
Lemahnya perlindungan data pribadi yang terjadi di industri jasa keuangan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945. Konstitusi negara ini dengan jelas menyatakan bahwa perlindungan data pribadi juga merupakan bagian dari perlindungan hak asasi manusia.
Lebih jelas lagi, amanat dari Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan data pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Sebenarnya, pemerintah dengan tegas telah melindungi nasabah yang mengalami kebocoran data pribadi lewat Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).
Menukil situs hukumonline.com, dijelaskan dalam Pasal 46 ayat (1) UU PDP, bahwa kegagalan perlindungan data pribadi adalah kegagalan melindungi data pribadi seseorang (nasabah) dalam hal kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan data pribadi, termasuk pelanggaran keamanan, baik yang disengaja maupun tidak disengaja, yang mengarah pada kerusakan, kehilangan, perubahan, pengungkapan, atau akses yang tidak sah terhadap data pribadi yang dikirim, disimpan, atau diproses.
Sementara, pelaku yang membocorkan data pribadi seseorang atau nasabah bisa dijerat dengan Pasal 65 ayat (1) dan (2) jo. 67 ayat (1) dan (2) UU PDP. Namun, hal itu belum cukup untuk menekan potensi kebocoran data pribadi. Namun, regulasi tersebut belum cukup efektif untuk mencegah kasus kebocoran data pribadi secara simultan.
Masih banyak tantangan yang dihadapi dan diatasi industri jasa keuangan untuk melindungi para nasabahnya. Upaya yang harus dilakukan industri jasa keuangan yakni penguatan sistem keamanan siber yang mutakhir.
Jika data pribadi masih bocor, maka kepercayaan masyarakat terhadap satu entitas industri jasa keuangan akan runtuh dan akan berdampak pada merosotnya transaksi digital.
Dampak Negatif dan Solusi
Hilangnya data pribadi tidak boleh lagi dianggap enteng. Sebab, kebocoran data pribadi memberikan dampak negatif yang bukan main-main. Nasabah bisa kehilangan uang akibat penipuan dan pemerasan, kerugian finansial dan beban kredit bagi korban sehingga menimbulkan masalah hukum, penurunan loyalitas nasabah, penarikan dana dari industri jasa keuangan, hingga denda yang ditanggung perusahaan jasa keuangan.
Solusi yang harus dilakukan yakni memastikan industri jasa keuangan melakukan enkripsi data, menerapkan verifikasi berlapis, memanfaatkan Artificial Intelligent (AI) untuk mendeteksi aktivitas mencurigakan. Juga melakukan back up data secara berkala, dan memberikan pelatihan keamanan siber kepada karyawan yang bekerja di industri jasa keuangan.
Sehingga karyawan dapat mengenali ancaman serangan siber seperti serangan phishing, pentingnya kata sandi kuat, dan protokol keamanan dasar.
Untuk mencapai tujuan ini, sinergi antara pemerintah pusat, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan seluruh industri jasa keuangan sangat diperlukan demi melindungi dan menjamin keamanan data pribadi warga Indonesia.
Mengutip pada Lampost.co (15/10/2024), bahwa Kepala OJK Provinsi Sumatra Selatan dan Bengkulu, Arifin Susanto, memaparkan pentingnya pemahaman masyarakat terhadap produk dan layanan keuangan yang ada saat ini.
Jika menilik lebih khusus, tingkat literasi keuangan di mayoritas wilayah Sumatra Bagian Selatan (Sumbagsel) meliputi Sumatra Selatan. Kemudian, Kepulauan Bangka Belitung, Lampung, Jambi, dan Bengkulu masih di bawah rata-rata nasional.
Kondisi ini menjadi tantangan besar. Salah satunya mengenai pelindungan konsumen dari kejahatan keuangan digital yang belakangan marak terjadi.
sementara Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Lampung Otto Fitriandy mengimbau kepada masyarakat mengantisipasi terjadinya pembobolan data pribadi. “Masyarakat harus berhati-hati agar tidak menjadi korban kebocoran data pribadi,” ujar dia.
Ia menambahkan, OJK telah menerbitkan regulasi melalui POJK 6/PJOK.07/2022 bahwa pelaku usaha jasa keuangan (PUJK) tidak diperbolehkan untuk menyebarkan data dan informasi pribadi nasabah atau konsumen kepada pihak manapun.
Penulis: Setiaji Bintang Pamungkas