Dalam beberapa video bahkan live dilakukan dalam rentang waktu berjam-jam, dari siang hingga malam hari, sampai-sampai tubuh emak-emak yang tersaji dalam bingkai smartphone tampak menggigil kedinginan. Ironisnya, aksi nekat emak-emak mandi ini disebut-sebut karena permintaan anaknya.
Raut wajah dari emak-emak yang mencitrakan penderitaan membuat para penonton iba dan memberikan gift mawar, kacamata, unta, dan masih banyak lagi. Gift yang dikumpulkan ini bisa ditukar dengan uang atau saldo digital.
Melihat maraknya fenomena ngemis online ini, sosiolog Dr. Bayu A. Yulianto, mengatakan bahwa ini bisa mencederai nilai-nilai kemanusiaan dan bahkan merusak mental anak muda.
Bayu menjelaskan, sejatinya fenomena ngemis online seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja, di beberapa negara lain juga terjadi fenomena yang sama. Mereka yang melakukannya biasanya mendapatkan uang dengan jumlah fantastis.
Ada banyak faktor yang melatarbelakangi orang-orang ini rela melakukan pertunjukkan yang mengesampingkan norma-norma kemanisaan. Bukan hanya kemiskinan, bisa jadi orang-orang tersebut memang hanya ingin menjadikan kegiatan tersebut sebagai mata pencaharian atau mendapatkan uang dengan cara instan.
Ironisnya, menjual rasa simpati dan kemiskinan memang menjadi cara jitu untuk mendapat perhatian orang Indonesia. Bayu menyebut, orang Indonesia itu memiliki rasa empati yang sangat besar. Ini terlihat dari bagaimana cara kita merespons suatu kejadian, seperti bencana.
“Kalau ada orang kesusahan atau kesulitan, itu bisa mereka kasih sumbangan, seperti dalam kejadian bencana segala macam. Nah netizen Indonesia itu luar biasa kontribusinya untuk bisa menyumbang seperti itu,” kata Bayu.
Rasa empati yang luar biasa ini kemudian dimanfaatkan oleh mereka yang melihat itu sebagai peluang mata pencaharian. Orang-orang ini memeras empati netizen supaya mendapatkan simpati sehingga membuat orang rela memberikan sesuatu, dalam hal sumbangan berupa gift. Ironisnya media sosial memfasilitasi hal tersebut.
Bisa rusak mental anak muda
Bayu menilai, jika dibiarkan fenomena “ngemis online” bisa berdampak buruk. Artinya, orang bisa berlomba-lomba untuk menampilkan tontonan, video, atau kreasi yang semakin aneh dan melanggar norma-norma umum di masyarakat, termasuk melanggar nilai-nilai kemanusiaan.
Selain itu, jika generasi muda dicekoki dengan tontonan seperti itu, tidak menutup kemungkinan mereka akan melakukan cara yang sama untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah. Ini membuat “ngemis online” semakin marak. Yang paling marah, ini bisa merusak mental generasi muda.
“Mental generasi muda kita bisa dirusak dengan fenomena seperti. Karena mereka melihat, dengan cara-cara seperti itu gampang sekali mendapatkan uang, sehingga mereka berpikir untuk tidak usah kerja yang serius. Cukup bikin tontonan yang seperti itu kemudian itu bisa menghasilkan uang buat mereka,” ujar Bayu.
Tidak ada sisi positif yang bisa diambil dari konten mandi lumpur yang banyak tersaji di media sosial TikTok saat ini. Salah satu cara agar fenomena “ngemis online” tidak semakin menjamur, adalah dengan tidak memberikan sumbangan kepada para pelaku.
“Kalau perlu enggak usah kasih gift atau apa segala macam, kepada mereka-mereka yang membuat konten tidak lazim, atau konten yang sifatnya negatif.
Netizen juga harus sadar bahwa mencari uang dengan mempertontonkan kemiskinan hingga mengesampingkan nilai kemanusiaan adalah cara-cara yang tidak layak.
Selanjutnya, diperlukan regulasi yang bisa mengatasi konten-konten yang merusak moral dan mental masyarakat. Bayu menyebut, konten-konten ini harus diawasi dan diberi peringatan, terutama buat mereka yang memproduksinya.
“Harus ada pengawasan juga dari pemerintah, di samping sisi netizennya. Tadi saya katakan perlu ada pencerahan, kecerdasan atau pendidikan terkait hal tersebut,” katanya.