Dalam rangka merayakan Hari Musik Nasional yang ditetapkan setiap 9 Maret, mari kita menelusuri kembali sejarah panjang perjalanan industri musik Indonesia. Kali ini, kami akan mengulas sosok Sylvia Saartje, pionir penyanyi rock perempuan di Indonesia. Aktuil, majalah musik dan budaya pop dari era 1960-an, pernah melabeli Sylvia Saartje sebagai Lady Rocker Pertama Indonesia.
Sylvia Saartje lahir di Arnhem, Belanda, pada 15 September 1956. Saat masih anak-anak, tepatnya pada usia enam tahun, Sylvia bersama keluarganya pulang ke Indonesia setelah merantau ke Belanda. Di Indonesia, Sylvia sejak kecil aktif bernyanyi. Mulanya, dia bernyanyi di gereja, sampai ketika remaja mulai mengikuti berbagai festival. Singkat cerita, dorongan kuat dari dalam diri dan keluarga membawanya pada kesempatan untuk menembus industri.
Pada masa itu, sekitar era 1970-an, penyanyi solo perempuan jarang yang membawakan lagu rock. Apalagi yang berani tampil urakan dan pecicilan di atas panggung. Masyarakat masih menganggap tabu perempuan dengan pakaian terbuka dan dandan heboh bernyanyi lagu-lagu bising di atas panggung.
Dalam wawancara bersama Shindu Alpito di program pengarsipan sejarah musik Shindu\’s Scoop, Sylvia bercerita salah satu puncak popularitasnya ketika berkolaborasi dengan Ian Antono. Pada akhir 1970-an, Sylvia diperkenalkan dengan Ian Antono yang saat itu tinggal di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Pertemuan itu seperti nasib baik bagi keduanya. Ian memiliki materi lagu, dan Sylvia adalah penyanyi yang dirasa Ian tepat membawakan karya-karyanya.
\”Pada akhirnya dikenalkan ke Ian, dipertemukan ke Ian, dikasih lagu. Warna vokal aku, Ian cari link ke PT Irama Tara. Lagu Biarawati dibilang like a dynamite. perempuan yang menyanyi gak seperti aku, empat tahun aku jadi tangga lagu. aku dapat bonus. dari situ aku bisa bantu keluarga,\” kata Sylvia.
Dalam perjalanannya, Sylvia juga merasakan surut kehidupan. Terlebih saat sang ibunda meninggal. Sang ibu yang terus menemani Sylvia dari panggung ke panggung dan menyuntikkan semangat tanpa henti mendadak tiada. Sylvia kehilangan arah dan itu memengaruhi eksistensinya di industri musik.
\”Aku kehilangan sosok mami. Aku ada penyesalan dalam kenapa saat mami sakit, mami melarang (saudara-saudara) kasih tahu aku. Aku cuma berpegang, \’Tuhan, jangan tinggalkan aku\’. Aku kemudian pergi ke airport, ke Amerika hanya dengan tiket dan baju di badan,\” kata Sylvia menceritakan momen terberatnya dalam hidup dan keputusannya pergi ke Amerika.
Sylvia menghabiskan waktu berbulan-bulan di Amerika, sebagai bentuk pelarian dari rasa dukanya. Sampai-sampai, dia mengurung diri selama dua bulan di hotel di Amerika karena merasa kehilangan gairah untuk melanjutkan hidup. Akhirnya, perlahan Sylvia berdamai dengan realita dan mulai menikmati kepergiannya ke negeri Paman Sam itu.
\”Aku nonton konser, dari NIN (Nine Inch Nails), Skid Row, Aerosmith, Joe Satriani, gue nonton saja band yang aneh-aneh. Aku suka NIN,\” kata Sylvia.
Dilansir dari: medcom.id