Setelah rehat dua tahun, Florence + The Machine kembali dengan single bertajuk King. Single tersebut mengisahkan tentang realita konflik yang dirasakan seniman perempuan saat harus memilih antara karir atau keluarga.
Florence Welch, selaku penulis dan penyanyi lagu ini, berkaca pada identitasnya sebagai perempuan yang meniti karier di dunia musik setelah lebih dari satu dekade.
Di bait awal, Welch menceritakan dilema yang ia rasakan. Welch harus memilih antara ambisinya dan keinginannya untuk berkeluarga. Rasanya, ia hanya boleh memiliki satu antara dua itu.
Di bait berikutnya, ia mengaku terus membutuhkan perasaan sakit hati dan kesedihan layaknya seorang tentara yang harus pergi ke medan perang untuk menciptakan lagu. Welch merasa bahwa ia harus membuat dirinya merasakan emosi-emosi negatif tersebut untuk terus berkarya.
Ia bahkan menggambarkan kesedihan bagaikan sebuah mahkota yang ia kenakan sambil menyongsong pedang berdarah saat menempuh kekosongan dalam dirinya yang membuatnya sukses seperti sekarang.
Hal ini terlihat dari karya-karya Florence + The Machine yang seringkali menyentuh tema-tema cinta dan kematian, jalannya waktu dan rasa sakit, serta surga dan neraka.
Lalu ada lagu-lagu seperti Ship to Wreck yang menyamakan hubungan gagal dengan kapal, hancur hingga Kiss To The Fist dan Howl yang bernuansa gelap dan brutal dari segi lirik.
Sepotong lirik yang dinyanyikan berulang kali dalam lagu ini memiliki arti mendalam. Sebagai seorang perempuan, Welch sadar betul akan ekspektasi yang dimiliki dunia terhadapnya. Perempuan didefinisikan oleh label ibu ataupun istri di mata masyarakat, sedangkan dirinya bukan keduanya.
Melainkan ia menyebut dirinya \”Raja\”, sebuah posisi yang biasa dipegang oleh pria. Bisa saja ia memanggil dirinya \”Ratu\”, tapi dalam lagu tersebut, diksi yang ia pilih adalah \”Raja\” untuk menunjukkan bahwa ia memandang dirinya setara dengan kaum pria.
But a woman is a changeling, always shifting shape
Just when you think you have it figured out
Something new begins to take
What strangе claws are these scratching at my skin
I nеver knew my killer would be coming from within\”
Dalam lagu ini, alunan musik terdengar sangat minim di awal dengan getaran bass dan snare drum yang ringan. Semakin lama track instrumental semakin ramai, selayaknya kurva, sebelum pecah dengan suara trompet dan biola yang diiringi paduan suara perempuan. Kemudian kian melambat di bagian akhir, seperti membawa sang pendengar kembali ke tanah.
Lirik akhir pun menutup monolog ini dengan rapih, saat Welch mengaku bahwa dirinya tidak pernah sejago yang ia harapkan dan bahkan belum puas dengan jalan hidupnya. Namun, ia memilih untuk mengesampingkan semua itu dan lanjut berkarya.
Berbeda dengan lagu-lagu lain yang bertema emansipasi perempuan, King mampu menjadi cerminan jujur dan apa adanya yang muncul dari pengalaman pribadi pencipta lagu.
Dari awal sampai akhir, lagu ini tidak mencoba mencarikan solusi untuk konflik identitas tersebut tapi sekadar membukakan mata pendengar bahwa tantangan yang mereka hadapi memang ada dan sangat nyata.
Dalam siaran persnya, Florence + The Machine mengungkapkan bahwa ia tidak pernah memikirkan identitasnya sebagai perempuan, hanya sebagai seniman. Dia selalu menjadikan seniman pria sebagai tolok ukur kesuksesan tanpa memandang gender.
Namun, kini ia melihat disparitas antara dirinya dan mereka karena keputusan untuk berkeluarga atau melanjutkan karier lebih sulit di pihak perempuan daripada pria.
Dilansir dari: cnnindonesia.com