Aliansi Musisi Pencipta Lagu Indonesia (AMPLI) merilis surat terbuka untuk Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, pada 11 Juli 2022.
Surat ini ditulis untuk menyorot Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) No.9 Tahun 2022 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) No. 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.
Konteks surat terbuka ini adalah sebagai respons atas sikap pemerintah yang mengeluarkan Permenkumham No.9 Tahun 2022 sebagai \”jawaban\” dari sikap keberatan AMPLI terkait pengelolaan royalti musik melalui Permenkumham No.20 Tahun 2021.
Mulanya, AMPLI mengkritisi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2021 dan Permenkumham Nomor 20 Tahun 2021. Intinya, melalui peraturan itu pemerintah mencanangkan Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM). Dalam implementasinya, pemerintah mendelegasikan fungsi LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional) kepada pihak swasta atas nama PT Lentera Abadi Solutama (PT LAS).
Penunjukan PT LAS sebagai pelaksana SILM oleh LMKN itu lantas menimbulkan polemik dan dinilai AMPLI penuh kejanggalan. Terkait transparansi, kapabilitas, akuntanbilitas, kredibilitas, dan hal-hal lain.
Mengapa AMPLI bersuara terkait hal ini? Sebab penunjukan itu terkait langsung dengan penghimpunan royalti yang menjadi hak dan hajat hidup ribuan atau bahkan jutaan musisi, dan penulis lagu.
Tak hanya itu, AMPLI juga menyorot keputusan-keputusan yang tak rinci dan dapat memantik persoalan di kemudian hari terkait dengan sistem royalti dalam Permenkumham No.9 Tahun 2022.
AMPLI juga menuntut Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) agar bisa lebih independen guna mengesampingkan konflik kepentingan.
\”Agar LMKN bisa lebih independen, kami juga berpendapat bahwa sebaiknya unsur pemerintah dalam LMKN sebaiknya ditiadakan, karena menurut Permenkumham No.9 Tahun 2022, pemerintah akan membentuk Dewan Pengawas guna mengawasi kinerja LMKN. Tak seharusnya wasit ikut berperan menjadi pemain bukan?\” tulis AMPLI.
Permenkumham yang telah dikeluarkan dengan No.9 Tahun 2022 sebagai bentuk jawaban dari tuntutan AMPLI sebelumnya pun dianggap belum menjawab secara jelas persoalan tetek-bengek terkait pengelolaan royalti. AMPLI menilai Permenkumham ini dibuat terburu-buru \”terkesan untuk memadamkan keriuhan publik saja.\”
Ada pun tiga hal yang diharapkan AMPLI dapat dijelaskan oleh Kemenkumham adalah:
1. Dengan terbitnya Permenkumham No.20 Tahun 2021, LMKN telah melakukan penunjukan terhadap pelaksana Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM) dengan melakukan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara LMKN dengan PT Lentera Abadi Solutama (PT LAS). Apakah PKS terhadap kepada pihak ketiga tersebut (PT LAS) secara otomatis batal dengan berlakunya Permenkumham No.9 Tahun 2022?
2. Lalu, di dalam pasal 9 Permenkumham No.9 Tahun 2022 bahwa dalam hal melaksanakan tugas dan fungsinya, komisioner LMKN dibantu oleh Pelaksana Harian/General Manager. Apakah fungsi pelaksana harian PT LAS yang diputuskan berdasarkan Permenkumham No.20 Tahun 2021 juga otomatis dibatalkan?
3. Jika dibatalkan, bagaimana dengan pertanggungjawaban dana operasional-yang bisa mencapai 40% dari total royalti yang dihimpun-yang sudah dihimpun oleh PT LAS?
Dilansir dari Medcom.id