Hal-hal berbau magis dan mistis, termasuk kegiatan yang berhubungan dengan kultus, nyatanya masih dipercaya oleh masyarakat di era modern. Pola pikir masyarakat dinilai sebagai salah satu sebab hal-hal magis ini masih menimbulkan kehebohan.
\”Yang jelas itu ada buktinya. Intinya pola pikir seperti itu menyelesaikan masalah. Misalnya saya pengin kaya, kemudian saya datang ke dukun dan saya jadi kaya. Itu kan bukti kalau pola pikir dukun itu benar,\” kata Heddy, beberapa waktu lalu.
\”Kasus-kasus itu dianggap sebagai bukti dari kebenaran pola pikir tadi. Selain bukti-bukti itu tadi, kemudian disosialisasikan anggota-anggota beserta bukti-bukti pendukungnya, itu akan tetap dipercaya,\” lanjutnya.
Heddy mengatakan pola pikir manusia terbagi menjadi empat untuk menghadapi masalah, yakni akal sehat (common sense), magi (upacara atau praktik mempersuasi makhluk gaib), sains (scientific), dan agama (religion). Setiap manusia pun memiliki pola pikir dominan yang berbeda-beda.
Menurutnya, hal-hal magis juga masih ada hingga kini karena keyakinan masyarakat bahwa langkah tersebut memberikan \’jawaban\’ lebih cepat daripada cara atau pola pikir lainnya.
\”Itu cara cepat. Karena logikanya gini, kalau kita pakai agama, kita tidak punya power untuk menyuruh Tuhan. Kalau pake scientific harus kerja keras dan lama. Tapi kalau pakai itu (santet/ilmu-ilmu magis) cepat. Saya bisa punya kuasa untuk sesuatu yang lain dan itu bisa saya manfaatkan,\” ujar Heddy.
Kekuatan praktik mistis tersebut dilandasi beberapa aspek, mulai dari kepercayaan subjek (dukun) terhadap efektivitas teknik yang digunakan, kepercayaan objek (korban) terhadap kekuatan mistik, dan kepercayaan dan harapan komunitas yang berfungsi sebagai bidang gravitasi.
Hal tersebut yang membuat suatu kelompok secara naluriah mewariskan mekanisme menghadapi dan memecahkan masalah sosial budaya dari generasi ke generasi hingga saat ini.
Dilansir dari: cnnindonesia.com