Studio Ghibli, produsen film aninasi Jepang, memutuskan membuat film animasi 3D di bawah bimbingan putra pendiri mereka, Hayao Miyazaki, Goro.
Dengan senyum yang sama dan kecintaan yang sama pada dunia fantasi, Goro, keluar dari bayang-bayang ayahnya lewat film Earwig and the Witch yang akan tayang secara daring dalam rangkaian Festival Dilm Fantasi Gerardmer, Rabu (27/1).
Film, yang seharusnya dirilis pada Festival Film Cannes 2020, akhirnya diluncurkan di Lyon.
Film itu berkisah mengenai anak perempuan yatim piatu yang diadopsi oleh seorang penyihir dan berteman dengan seekor kucing hitam.
Film itu masih memiliki rasa Miyazaki. Namun, para penggemar karya Hayao Miyazaki seperti My Neighbour Totoro dan Howl\’s Moving Castle akan terkejut dengan efek 3D yang ditampilkan.
Bagi studio yang terkenal dengan keharmonisan tampilannya, loncatan ke 3D adalah pertaruhan, aku Goro, yang menyadari risiko membuat kecewa para penggemar Ghibli yang telah setia selama lebih dari 30 tahun. Meski begitu, Goro mengaku ayahnya yang berusia 80 tahun memberi dirinya kebebasan untuk berkreasi.
\”Dia jarang berkomentar selama proses produksi,\” ujar Goro. \”Dia datang secara rutin untuk mengecek namun perbedaan teknologi dari film animasi tradisional membuat dia tidak punya referensi.\”
Memasuki kancah 3D berarti Ghibli akan berkompetisi langsung dengan studio animasi Amerika Serikat yang memiliki teknis lebih baik dan finansial lebih kuat. \”Anda bisa mendeskripiskan produksi AS sebagai mobil listrik Tesla. Adapun kami bary membuat sepeda listrik untuk berkeliling kota,\” aku Goro.
Meski mulai memasuki kancah 3D. Goro memastikan Ghibli akan tetap memproduksi film animasi tradisional seperti yang disukai ayahnya.
Dilansir dari: mediaindonesia.com