Setelah menutup tahun lalu dengan single “Matahari” dan merilis single terbarunya “Kaki” pada awal Juli lalu, unit indie-rock asal Jakarta Retlehs menghadirkan EP pertamanya yang berjudul Satyr’s Satire bersama Sinjitos Collective.
Digawangi oleh Hariara “Hara” Hosea (bass), Faizu Salihi (drum), dan Erlinda Anatasha (vokal), band yang dibentuk di Jakarta pada tahun 2021 ini mempersembahkan lima lagu dengan pengaruh musik alternatif, shoegaze, dan youthful angst untuk para pendengarnya.
Kelima lagu dalam EP ini merupakan bagian pertama dari interpretasi Retlehs terhadap konsep klasifikasi dosa dalam ajaran agama Kristen yang populer ditemukan di berbagai produk budaya pop, \”The 7 Deadly Sins\” atau \”7 Dosa Mematikan.\”
“Blue” mewakili dosa lust (hawa nafsu), “Kaki” mewakili dosa pride (kesombongan), \”St. Adella\” mewakili dosa envy (iri hati), sementara “Matahari” merupakan rangkuman implikasi dari ketiganya. Melalui EP ini, Retlehs memberikan para pendengar kesempatan untuk menikmati alternate version dari lagu “Matahari”
Single utama Satyr’s Satire, “Blue”, menceritakan sebuah analogi karangan vokalis Erlinda Anatasha yang menyuarakan amarahnya terhadap kasus kekerasan seksual terhadap anak di institusi keagamaan. “Blue” mengambil inspirasi dari, “Harassment yang gue harus go through every single day sebagai cewek,” jelas Anatasha pada sebuah sesi wawancara daring. Mewakili dosa lust atau hawa nafsu, trek ini ditulisnya seusai menyaksikan film karangan Tom McCarthy, Spotlight (2015), yang ditulis berdasarkan pada kisah pelecehan seksual terhadap anak oleh sejumlah besar pastur gereja Katolik Roma di Boston, Amerika Serikat. Secara kebetulan, EP ini dirilis tak lama setelah tersiarnya berita kasus kekerasan seksual terhadap anak di sebuah pesantren di Indonesia, sebuah bukti atas relevansi isu yang diangkat oleh Retlehs dalam keseharian.
Menganalogikan anak-anak korban kekerasan seksual sebagai malaikat yang tersiksa, “Blue” adalah lirik pertama yang ditulis oleh Anatasha untuk Retlehs sekaligus satu-satunya lagu berbahasa Inggris rilisan band ini.
Figur-figur yang direpresentasikan sebagai para dewa atau gods digambarkan bersembunyi, seakan lepas tangan, malu, atau turut merasa bersalah. Melalui lagu ini, Retlehs mengekspresikan amarah dan kekecewaannya pada tempat-tempat perlindungan yang dianggap suci, yang malah menjadi ruang bagi terjadinya kekerasan pada yang tak berdaya. Bagi Retlehs, isu yang diangkat lewat single utama ini adalah yang paling publik, namun juga paling emosional bagi sang vokalis. Dari segi produksi, pengerjaan “Blue” pun dirasa paling baik dibandingkan dengan lagu-lagu lainnya.
Judul Satyr’s Satire untuk EP ini mengambil inspirasi dari Satir, makhluk manusia setengah kambing dari mitologi Yunani yang menurut Retlehs punya tabiat buruk hingga tidak berhasil mengendalikan berbagai hasrat dan aksinya yang merugikan makhluk lain. EP ini merupakan interpretasi mereka tentang manusia yang tak bisa membatasi dan mengendalikan dirinya, hingga seakan-akan menjadi manusia setengah binatang. Bagi Retlehs, “Sifat-sifat binatang tidak seharusnya dilakukan oleh manusia,” meski mereka pun tak merasa punya superioritas moral untuk menggurui orang lain.
Dalam menciptakan karya, para personel Retlehs banyak terinspirasi oleh beragam musisi dunia, antara lain Deftones, Muse, Dave Grohl, dan Travis Barker. Retlehs berencana untuk merilis satu lagi EP yang akan menyempurnakan lantunan kisah Satyr’s Satire. “Rencananya di awal tahun depan,” ujar ketiganya.
Dilansir dari Medcom.id