Pandemi covid-19 membawa cerita bagi siapa saja yang mampu bertahan dan bangkit dari keterpurukan. Bagi Pee Wee Gaskins, grup pop-punk asal Jakarta, pandemi adalah \”penyelamat\” mereka dari rencana bubar.
Kembali ke medio 2019 dan awal 2020, Pee Wee Gaskins sempat membuat para penggemar mereka gusar. Pasalnya, grup yang kini digawangi Dochi Sadega, Sansan, Omo, Aldy, dan Ayi itu berencana untuk merilis album terakhir dan membubarkan diri. Bukan tanpa alasan, Pee Wee Gaskins yang terbentuk sejak 2007 itu merasa apa yang mereka lakukan sudah tak lagi relevan. Panggung ke panggung mereka lalui dengan rasa pasai. Para personel tak lagi menemukan kesenangan seperti alasan awal band ini dibentuk.
\”Waktu itu momennya pas karena lagi capek touring dan ngerasa ini cuma kerjaan bukan senang-senang lagi. Padahal, dulu Pee Wee Gaskins itu band senang-senang. Setelah merasa ini pekerjaan, seperti ada yang hilang,\” kata Dochi Sadega kepada Medcom.id, saat ditemui di kawasan SCBD, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.
Berdiri selama 15 tahun tentu bukan perkara mudah bagi sebuah band, terlebih mampu menjaga eksistensi mereka di tengah arus deras industri musik dengan perputaran tren yang kencang, iklim industri tak menentu, dan ekosistem yang tak sepenuhnya ideal. Pee Wee Gaskins bahkan merasakan lebih dari itu, mereka sempat dicerca habis-habisan oleh sekelompok orang yang menamakan diri APWG (Anti Pee Wee Gaskins) pada tahun awal-awal berdiri. Tak jarang mereka dilempari berbagai benda saat berada di atas panggung. Jika tak kuat mental, tentu Pee Wee Gaskins telah bubar sejak dulu.
Tetapi, apa yang mengancam hidup dan mati mereka ternyata bukan dari faktor eksternal. Dochi mengaku bahwa kondisi internal band justru jadi malaikat pencabut nyawa mereka. Beruntung, mereka lagi-lagi lolos dari ujian itu. Namun, entah sampai kapan hal itu bertahan.
\”Ada beberapa hal yang disia-siakan sama anak-anak termasuk gue. Ketika pandemi, kami seperti merasakan tidak bareng-bareng seperti apa. Terus kami merefleksikan, kami masih bisa bikin sesuatu. Energi itu kembali lagi, sekarang kalau kami nge-band rasanya seperti awal-awal lagi,\” kata Dochi.
Kendati demikian, Dochi mengaku masih tetap memikirkan saat yang tepat untuk mendaratkan Pee Wee Gaskins dan bubar secara terhormat. Langkah yang paling masuk akal menurutnya adalah menyiapkan generasi penerus dalam ranah pop-punk dan mewariskan spirit mereka ke band-band yang sejalan dengan idealisme Pee Wee.
\”Band saat ini regenerasinya sudah enggak kayak dulu. Sejak pandemi, venue sempat susah banget. Selama pandemi gue malah jadi ngulik ada band baru apa lagi. Ternyata, banyak band baru yang bagus dan tidak terdengar. Akhirnya gue bikin platform bernama Knurd, untuk memfasilitasi mereka. Sekarang misi gue, Pee Wee Gaskins enggak boleh bubar sebelum ada penerusnya. Jangan sampai berhenti di Pee Wee Gaskins atau di band angkatan Pee Wee Gaskins. Jadi, kalau kami nanti bubar ada legacy-nya,\” tukas Dochi.
Dochi sadar bahwa tak selamanya tren genre pop-punk berada di atas angin seperti era 2006-2010. Dia mengaku tak naif melihat pop-punk sebagai sebuah genre yang terbatas dan kaku. Sebaliknya, Dochi justru melihat cara pop-punk bertahan adalah dengan melebur pada entitas musik-musik lain.
\”Kalau dari genre kami, kami menyebut pop-punk. Pop-punk sendiri versatile, bisa masuk ke hip-hop, mendayu-dayu, R&B. Kalau bicara relevansi, mungkin band saat ini musiknya berbeda dari Pee Wee, tapi bisa saja semangatnya sama.\”
Kini, Pee Wee Gaskins menatap kembali perjalanan mereka yang tersisa, tanpa berlindung di balik hari esok dan belum membiarkan kertas dan pena berakhir hari ini. Entah bubar atau tidak, rasanya Pee Wee Gaskins punya sesuatu yang lebih penting dari itu: suara lantang untuk memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai komunitas.
Dilansir dari: medcom.id